ANALISIS WACANA DALAM PEMBELAJARAN
BAHASA
M. Bayu Firmansyah, M.Pd
Disusun oleh:
Devya Erfitri Rahmadhani
(16188201034)
STKIP PGRI PASURUAN
Jl. Ki Hajar Dewantara No.27-29
Pasuruan
Tahun Akademik 2017/2018
KATA PENGANTAR
Segala puji dan
syukur saya ucapkan
kehadirat Tuhan Yang
Maha Esa karena atas berkat rahmat dan anugerah-Nya saya dapat
menyelesaikan tugas mata kuliah Metode Pembelajaran Bahasa Indonesia.
Makalah yang berjudul “Analisis
Wacana Dalam Pembelajaran
Bahasa” ini saya buat
dalam rangka menyelesaikan tugas yang diberikan oleh Bapak M. Bayu
Firmansyah, M.Pd.
selaku dosen mata kuliah Metode Pembelajaran Bahasa Indonesia.
Terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah ini, khususnya
kepada dosen mata kuliah ini selaku pembimbing saya, teman-teman yang telah
memberi saya inspirasi, dan semua orang yang tidak bisa saya sebutkan satu
persatu.
Saya sadar makalah ini jauh dari sempurna, oleh karena itu saya sangat mengharapkan
kritik dan saran dari para pembaca supaya kedepannya makalah ini dapat lebih
baik lagi.
Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk saya khususnya dan
bagi para pembaca umumnya.
|
Pasuruan, 12 November 2017
Penulis
|
DAFTAR
ISI
Halaman
KATA PENGANTAR
......................................................................................... i
DAFTAR ISI
........................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah ..................................................................... 1
1.2 Rumusan
Masalah
............................................................................... 2
1.3 Tujuan ................................................................................................. 2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Wacana……………………………………………….....3
2.2 Analisis Pemakaian Bahasa………………..……………………......3
2.3 Topik dan Representasi Wacana…………………………..…..……4
2.4 Kohesi dan Koherensi Dalam
Wacana …………………………….6
2.5
Implikasi Analisis Wacana Dalam
Pembelajaran
Bahasa Indonesia …………………………………...8
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
.......................................................................................12
3.2 Saran
.................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA
........................................................................................14
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Istilah wacana berasal dari bahasa Sansekerta wac/wak/vak, artinya berkata berucap
(Douglas, 1976:262). Bila dilihat dari jenisnya, kata wac dalam lingkup morfologi bahasa Sansekerta, termasuk kata kerja
III parasmaepada (m) yang bersifat
aktif, yaitu melakukan tindakan ujar. Kata tersebut kemudian mengalami
perubahan menjadi wacana. Jadi, wacana dapat diartikan sebagai perkataan atau
tuturan.
Seperti halnya banyak kata yang digunakan, kadang-kadang
pemakai bahasa tidak mengetahui secara jelas apa pengertian dari kata yang
digunakan tersebut. Ada yang mengartikan wacana sebagai unit bahasa yang lebih
besar dari kalimat. Ada juga yang mengartikakn sebagai pembicaraan. Kata wacana
juga banyak dipakai oleh berbagai kalangan mulai dari studi bahasa, psikologi,
sosiologi, politik, komunikasi, sastra dan sebagainya. Pembahasan wacana
berkaitan erat dengan keterampilan berbahasa yaitu berbicara dan menulis. Baik
wacana maupun keterampilan bahasa, sama-sama menggunakan bahasa sebagai alat
komunikasi.
Menurut Henry Guntur Tarigan (1987:27), wacana adalah
satuan bahasa yang paling lengkap, lebih tinggi dari klausa dan kalimat,
memiliki kohesi dan koherensi yang baik, mempunyai awal dan akhir yang jelas,
berkesinambungan, dan dapat disampaikan secara lisan dan tertulis. Jadi, suatu
kalimat atau rangkaian kalimat, dapat disebut wacana atau bukan wacana
bergantung pada keutuhan unsur-unsur makna dan konteks yang melingkupi.
Berdasarkan uraian di atas, betapa pentingnya mengetahui
dan memahami mengenai wacana agar tidak terjadi kesalahpahaman, oleh karena itu
penulis menyusun makalah yang berjudul “Analisis Wacana Dalam Pembelajaran
Bahasa”.
1.2 Rumusan Masalah
1) Apa
pengertian wacana?
2) Bagaimanakah
analisis pemakaian bahasa?
3) Apa
topik dan representasi wacana?
4) Bagaimana
kohesi dan koherensi dalam wacana?
5) Bagaimana
implikasi analisis wacana dalam pembelajaran bahasa Indonesia?
1.3 Tujuan
1) Mendeskripsikan
pengertian wacana.
2) Mendeskripsikan
analisis pemakaian bahasa.
3) Mendeskripsikan
topik dan representasi wacana.
4) Mendeskripsikan
kohesi dan koherensi dalam wacana.
5) Mendeskripsikan
implikasi analisis wacana dalam pembelajaran bahasa Indonesia.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Wacana
Wacana adalah rentetan kalimat yang
berhubungan, menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain,
membentuk satu kesatuan, proposisi sebagai isi konsep ang masih kasar yang akan
melahirkan statement atau pernyataan dalam bentuk wacana atau kalimat (Fatimah
Djajasudarma, 1994).
Wacana adalah satuan bahasa yang paling
lengkap, lebih tinggi dari klausa dan kalimat, mempunyai kohesi dan koherensi
yang baik, mempunyai awal serta akhir yang jelas, berkesimnambungan dan bisa
disampaikan secara lisan dan tulisan (Henry Guntur Tarigan, 1987).
Wacana adalah satuan bahasa terlengkap
yang dinyatakan secara lisan seperti ceramah, pidato, dialog dan khotbah atau
secara tertulis seperti novel, cerpen, surat, buku dan dokumen tertulis yang
dilihat dari struktur lahirnya atau dari segi bentuk bersifat kohesif, saling
terkait dan dari struktur batinnya (dari segi makna) bersifat koheren terpadu
(Sumarlan dkk, 2009).
Wacana adalah rentetan kalimat yang berhubungan sehingga
terbentuklah makna yang serasi diantara kalimat-kalimat tersebut. Dengan begitu
sebuah rentetan kalimat tidak dapat disebut dengan wacana jika tidak ada
keserasian makna, dan sebaliknya, jika rentetan kalimat membentuk sebuah wacana
karena dari rentetan tersewbut akan terbentuk makna yang serasi (Hasan Alwi
dkk, 2000).
Dari beberapa pengertian di atas, dapat diambil kesimpulan
bahwa wacana adalah satuan bahasa lisan maupun tulisan yang memiliki keterkaitan
atau keruntutan antarbagian atau kohesi, koheren atau keterpaduan dan bermakna,
digunakan untuk melakukan komunikasi dalam konteks sosial.
2.2 Analisis Pemakaian Bahasa
Suatu kemajuan
besar bahwa sejak 1984, Kurikulum Bahasa Indonesia telah memasukkan pragmatik
sehingga setiap unit pelajaran bahasa Indonesia meliputi membaca, kosakata,
struktur, menulis, pragmatik, dan apresiasi sastra/bahasa. Bahkan, mulai tahun
1994 Kurikulum Bahasa Indonesia telah secara eksplisit menyebutkan pendekatan
komunikatif sebagai rancangan penyusunannya yang notabene pengajaran bahasa
Indonesia telah difokuskan pada fungsi komunikatif bahasa sebagai jiwa dari
pragmatik. Sampai dengan KTSP 2006 pun unsur kekomunikatifan sebagai pendekatan
tidak berubah. Berarti jiwa pragmatik masih tetap ada dalam KTSP 2006.
Pragmatik
pada hakikatnya adalah studi bahasa dari sudut pemakaiannya atau bahasa dalam
pemakaiannya (language in use) (Levinson,
1983). Analisis wacana sebagai studi bahasa yang didasarkan pada pendekatan
pragmatik berarti mengkaji wacana bahasa dalam pemakainnya berdasarkan konteks
situasinya. Wacana yaitu suatu konstruksi yang terdiri atas kalimat yang satu
diikuti oleh kalimat lain, yang merupakan suatu keutuhan konstruksi dan makna
(Samsuri, 1986). Dengan demikian, sebenarnya wacana dapat berupa wacana lisan
maupun tulis. Wacana tulis biasa disebut teks, namun karena wacana lisan bila
akan dianalisis juga harus ditranskip dalam bentuk tulisan, keduanya juga
disebut teks.
Analisis
wacana pada dasarnya ingin menganalisis dan menginterpretasi pesan yang
dimaksud pembicara atau penulis dengan cara merekonstruksi teks sebagai produk
ujaran/tulisan kepada proses ujaran/tulisan sehingga diketahui segala konteks
yang mendukung wacana pada saat diujarkan/dituliskan.
Segala
alat pembangun wacana yang pada saat wacana itu dalam proses dihasilkan
melingkupi pembicara atau penulis akan dihadirkan kembali (direkonstruksi) dan
dijadikan alat untuk menginterpretasi. Hasil interpretasi diharap dapat
membantu pembaca/penyimak untuk memahami pesan yang dimaksud oleh
pembicara/penulis.
2.3
Topik dan Representasi Wacana
Topik dalam
suatu wacana tidak sama dengan topik dalam suatu kalimat. Kalimat : Orang itu
bagus sekali rumahnya. Frasa orang itu adalah topik (subjek) sedang bagus
seklai rumahnya adalah coment/keterangan yang terdiri dari bagus sekali sebagai
predikat dan rumahnya, sebagai subjek. Dalam analisis wacana kalimat di atas
tidak akan disikapi demikian, karena topik yang dimaksud adalah topiknya
pembicara. Dengan demikian, topik kalimat di atas adalah bagus sekali. Frasa
bagus sekali menjadi substansi dari rumahnya (ada rumah yang jelek, rumah cukup
bagus, dan rumah bagus sekali).
Percakapan
orang tentang sesuatu bisa saja tentang topik yang sama, misalnya:
A : Sudah lama tidak hujan, sekarang sudah mulai
hujan.
B : Iya, rupanya sudah mulai musim hujan lagi ya?
A : Mungkin! Baru hujan sekali saja udaranya
kelihatan bersih dan terasa segar.
Percakapan antara A dan
B tentang topik yang sama, yaitu hujan. B sebagai lawan bicara memberi tanggapan yang sepadan dengan
maksud yang dibicarakan oleh si A. Apabila topik pembicaraan pada masalah yang
sama, pembicaraan ini disebut topicality (Brown, 1985: 84). Ada juga percakapan
dua orang tetap dapat berlangsung terus, tetapi mereka berbicara pada topiknya
sendiri-sendiri pada topiknya masing-masing, misalnya:
A
: Saya kemarin pergi ke Surabaya menengok keponakan saya yang menjadi angkatan
laut.
B
: Kalau anak saya yang di Surabaya sering berlayar sampai Singapura membawa
barang-barang untuk diekspor dan kalu pulangs sering membaea barang-barang
elektronika.
A
: La iya namanya angkatan laut, istrinya juga sering mengeluh karena segala
urusan anak-anaknya yang harus diurus sendiri.
B
: Murah-murah lho barang-barang elektronika dari sana itu, lebih-lebih kalau
mendapat barang selundupan.
A
: Padahal, waduh…minta ampun anak-anaknya bukan main nakalnya.
Memang kadang-kadang
topik yang dibicarakan masih berhubungan, tetapi pembicara sering mengangkat
permasalahan pembiacaraan sendiri-sendiri. Hal semacam ini disebut on a topic. Di dalam analisis wacana,
bila kita menghadapi percakapan dua orang atau lebih yang harus diperhatikan
adalah saat terjadinya perubahan dari topik pembicaraan ditandai dengan
paragraf sedang dalam percakapan dinamakan paraton (perubahan pola informasi). Dalam
bahasa lisan yang terpenting adalah memperhatikan pemarkah-pemarkah paraon
tersebut. Biasanya berupa kata-kata, intonasi yang melemah dan sebagainya.
Misalnya….O, iya, omong-omong suamimu itu…; anu….saya kok lupa….
2.4
Kohesi dan Koherensi Dalam Wacana
Salah satu ciri kewacanaan adalah kekohesifan. Di samping
sebagai ciri kewacanaan kohesi dapat juga dipakai sebagai alat interpretasi
wacana dari segi struktur kalimat. Apabila suatu kalimat memiliki keruntutan
hubungan struktur antarkalimat, kalimat tersebut disebut kohesif. Jadi kohesif
adalah keruntutan hubungan antarkalimat, misalnya:
A : Wah, ada tamu, tolong
bukakan pintu.
B : Saya sibuk, maaf ya!
A : Ya sudah saya bukanya
sendiri.
Ujaran A dan B terjalin melalui hubungan struktur. Hal
ini terlihat jelas melalui frasa “tolong bukakan pintu” dengan frasa “maaf ya”
yang maksudnya “maaf ya saya tidak dapat membuka pintu”. Lebih jelas lagi
setelah A memberikan tanggapan berikutnya, yaitu “Saya bukanya sendiri”.
Pertalian antara ujaran pertama dengan ujaran kedua terjadi secara kohesif
artinya ada pemarkah hubungan berupa kata tolong dan maaf. Sedang pemarkkah
hubungan pada kalimat ketiga (ujaran A) berupa frasa “Saya bukanya sendiri”.
Hubungan kekohesifan suatu ujaran yang masih berada dalam
suatu teks dinamakan endofora. Hal ini bisa ditandai dengan pemarkah berupa
kata sambung dan, tetapi, sehingga, kemudian, dan seterusnya.
Pertalian mata rantai (proposisi) satu dengan yang lain
dalam suatu wacana ada beberapa jenis, yaitu a) dengan kata penghubung dan b)
tanpa menggunakan kata penghubung. Hasil pertaliannya juga bisa terjadi dalam
beberapa bentuk: 1) kohesif sekaligus koheren, 2) kohesif tidak koheren, 3)
tidak kohesif, tetapi koheren.
Jenis pertalian pertama dan kedua dapat diambil contoh
sebagai berikut:
a. Ia duduk termenung karena (ia)
sedih.
b. Saya terpaksa berangkat ke
Malang juga, meskipun anak dan istri di rumah kurang sehat.
c. Ia menengadah ke langit maka
pesawat terbang itu jatuh.
d. Pak Gunadi mengetik soal maka
saya jatuh sakit.
Pertama mata rantai “ia sedih”
dihubungkan dengan “ia duduk termenung” memakai kata sambung karena, “ia sedih”
merupakan sebab terjadinya suatu peristiwa “ia duduk termenung”. Kedua “ia
terpaksa berangkat ke Malang juga” berhubungan dengan mata rantai “anak dan
istri di rumah kurang sehat” menjadi sebab terjadinya suatu peristiwa, dan
peristiwa itu terjadi di dalam keterbatasan yaitu terpaksa. Kalimat tersebut di
samping memiliki pertalian bentuk (kohesi) sekaligus memiliki pertalian isi
(koherensi).
Contoh ketiga, “ia menengadah
ke langit!” sebagai mata rantai pertama merupakan sebab terjadinya peristiwa
“pesawat terbang jatuh” karena adanya kata sambung maka. Begitu juga kalimat ke
empat mata rantai “Pak Gunadi mengetik soal” merupakan sebab terjadinya
peristiwa pada mata rantai kedua yaitu “saya jatuh sakit” karena adanya kata
sambung maka juga. Namun, dari segi isi hubungan mata rantai tidak logis
sehingga meskipun pertaliannya sangat kohesif tetapi tidak memiliki koherensi.
Jenis pertalian ketiga yaitu
pertalian tanpa menggunakan kata sambung. Hasil pertalian ini tidak kohesif,
tetapi sangat koheren atau tidak kohesif dan tidak koheren.
a. Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa (Amir Hamzah, 1978:
5)
b. Harga menjes (tempe bongkrek)
turun secara drastis. Harga minyak di pasaran jatuh sejak terjadinya resesi
ekonomi dunia.
Baris-baris puisi dalam contoh
ke lima tidak kohesif karena tidak terdapat kata sambung. Jika diteliti dari
pemakaian kata-katanya, yaitu kata satu dalam baris “satu kekasihku” yang
dikaitkan dengan baris “aku manusia” menunjuk bahwa aku sebagai pembicara yang
biasanya memiliki kerinduan terhadap rasa dan rupa. Pertalian baris tersebut
dapat ditunjukkan dengan cara memparafrasakan menjadi “(tinggal) satu kekasihku
(bahwa) aku (sebagai) manusia (biasa) (juga) ridu rasa (dan) rindu rupa”. Jadi,
baris puisi tersebut satu sama lain meskipun tidak kohesif ternyata memiliki
pertalian isi yang sangat koheren. Petunjuk lain dapat dilihat antara baris
ketiga dan keempat dengan dipergunakannya repetisi kata rindu. Namun, bagaimana
menjelaskan pemakaian kata rupa bahwa kekasihku (Tuhan) sampai bisa merupa?
Amir Hamzah rupanya terpengaruh
oleh kaum Nasrani yang memiliki konsepsi tentang diri Tuhan yang bisa merupa
dalam diri Nabi Isa (Yassin, 1962: 33). Dengan kata lain pemahaman melalui
latar belakang sosio kulturalnya akan dapat menjelaskan pertalian tersebut.
Contoh keenam, kalimat “Harga
menjes turun secara drastis” dan kalimat “Harga minyak di pasaran jatuh sejak
terjadinya resesi ekonomi dunia” meskipun berbicara dalam topik yang sama (on the topic) yaitu masalah harga,
tetapi tidak ada hubungan sama sekali karena pembicara satu berbicara harga
sesuatu (harga menjes) sedang pembicara lain berbicara harga sesuatu yang lain
(harga minyak), meskipun mungkin dalam konteks yang sama yaitu “resesi ekonomi,
dunia”. Jadi, contoh keenam tidak ada kohesi dan koherensinya.
Jika dikembalikan pada unsur
pembangun kekoherensian dan pemahaman isi dari pesan yang disampaikan melalui
kata-kata dan struktur kalimat, hal di atas dapat dikategorikan struktur
sintaktik dan unsur leksikal yang digunakan dalam menyampaikan pesan melalui
bahasa untuk bisa sampai pada interpretasi. Cara lain untuk memahami isi
informasi dan melihat tingkat kekoherensian suatu wacana, yaitu 1) prinsip analogi
(the principles of analogy), 2) interpretasi lokal (local interpretation), 3) ciri umum
konteks (general features of context),
4) keteraturan kerangka struktur wacana (regularities
of discourse structure out-lined) dan 5) ciri-ciri tetap suatu organisasi
struktur informasi (regular features of
information structure organisation).
2.5
Implikasi
Analisis Wacana Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia
Analisis
wacana merupakan analisis pemakaian bahasa. Bahasa dianalisis bukan sebagai
produk tetapi sebagai proses, yaitu proses komunikasi. Di dalam berkomunikasi
setidaknya ada dua orang yang terlibat. Meminjam istilah Hymes (1964) disebut
partisipan.
Partisipan pertama mengungkapkan
pikiran dengan menggunakan bahasa, tetapi bahasa yang sudah dibangun dalam
bentuk wacana memakai alat-alat pembangun wacana berupa: 1) pertalian bentuk
(kohesi), 2) pertalian isi (koherensi), 3) konteks, (meliputi: a) referensi, b)
praanggapan, c) implikatur, d) inferensi, e) kontkes situasi, f) ko-teks dan g)
interpretasi lokal), 4) topik, dan sebagainya. Pertisipan kedua akan menangkap
ide yang disampaikan partisipan pertama mempergunakan alat interpretasi, yang
diambil dari alat pembangun wacana.
Pertemuan partisipan pertama dan
kedua pada waktu menghadapi produk berupa bahasa dapat diamati melalui membaca
atau mendengarkan. Dengan demikian, kewajiaban partisipan ke dua adalah
merekonstruksi ujaran/tulisan partisipan pertama sehingga pemahamannya terhadap
wacana tidak keliru dengan yang dimaksud oleh partisipan pertama.
Apabila analisis wacana dikaitkan
dengan usaha seseorang dalam menguasai bahasa tertentu, sesungguhnya adalah
menguasai bahasa untuk berkomunikasi. Tindak komunikasi (communication acts) adalah tindak mengirim dan menangkap pesan oleh
para partisipan melalui bahasa. Mengirim dan menangkap pesan dalam
berkomunikasi menjadi sasaran utama, sedangkan bahasa sebagai alatnya. Dengan
demikian bila seseorang ingin menguasai bahasa tertentu untuk berkomunikasi,
dia harus memulai dengan menggunakan
bahasa. Tata bahasa dikuasai dengan maksud agar bahasa yang dipergunakan
dapat jelas dan sesuai dengan maksud yang ingin diungkapkan.
Analisis wacana menawarkan sesuatu
yang baru. Bahasa dianalisis bukan setelah terlepas dari pemilik, pemakai dan
konteksnya, tetapi pada saat peristiwa itu berlangsung. Dengan demikian,
analisisnya ditekankan pada analisis proses berbahasa. Namun, karena hal ini
dilakukan terpaksa dipergunakan rekaman video, tape atau transkip tertulis,
sehingga kegiatan analisisnya dilakukan dengan cara merekonstruksi wacana yang
telah berupa produk dengan menggunakan alat-alat interpretasi suasana pemakaian
bahasa yang dimunculkan oleh pemakai bahasa bisa digambarkan kembali. Dengan demikian,
analisis wacana yang dihampiri dari sudut pragmatik menjadi penting dalam
pengajaran bahasa.
Kegiatan pengajaran bahasa
setidaknya ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu a) proses pengajara, dan
b) tujuan yang akan dicapai. Proses pengajaran pada hakikatnya adalah proses
komunikasi antarpartisipan, yaitu antara guru dan murid. Guru menyampaikan
pesan berupa materi pelajaran kepada murid dalam bentuk wacana. Bahasa yang
dipakai guru bukanlah bahasa yang bebas tetapi bahasa yang dibangun dengan mempergunakan
alat pembangun wacana agar mudah dimengerti murid.
Murid sebagai partisipan yang akan
menangkap pesan yang disampaikan oleh guru dengan cara menginterpretasi ujaran
guru. Mereka mencoba memahami maksud guru dengan cara merekonstruksi ujaran dalam
pikirannya. Murid hanya akan mampu menangkap maksud yang terdapat dalam ujaran
secara tepat apabila mampu menghadirkan kembali alat-alat pembangun wacana yang
dipakai oleh guru menjadi alat interpretasi.
Segi lain dalam pengajaran bahasa
yang terpenting adalah tujuan yang akan dicapai. Guru merumuskan tujuan
pengajaran untuk murid, dengan demikian pada bagian ini tindakan guru
mengatasnamakn murid. Murid sebagai orang yang belajar seharusnya mereka
mengerti apa yang harus dicapai agar segala kegiatan yang dilakukan senantiasa
mengarah pada tujuan serta tidak ada perasaan terpaksa dalam berbuat. Tujuan
pengajaran bahasa Indonesia di sekolah adalah agar pembelajar terampil
berbahasa baik secara lisan atau tertulis. Berdasrkan rumusan tujuan tersebut
dapat ditarik kesimpulan agar murid dapat berkomunikasi menggunakan bahasa
Indonesia secara langsung atau tidak langsung.
Dalam rangka mencapai tujuan
tersebut, analisis wacana memiliki peranan yang sangat besar. Karena kegiatan
ini dilakukan di kelas, indikator yang dapat ditunjuk adalah: 1) kurikulum
berorientasi pada tujuan, 2) murid berkomunikasi dengan guru, murid akan
mencapai tujuan, maka analisis wacana berperanan sangat besar dalam pengajaran
keterampilan menyimak dan membaca.
Menyimak dimaksudkan agar murid
dapat mendengar dan mengerti bunyi bahasa yang diucapkan oleh guru, kemudian
menangkap pesan. Kegiatan menganalisis wacana pada hakikatnya menganalisis
ujaran melalui proses berpikir. Ujaran mengandung pesan untuk disampaikan
kepada murid, murid menangkap bunyi melalui telinga kemudian mengolahnya dalam
pikiran, untuk memperoleh pesan. Hal ini dilakukan dengan jalan mengenali jenis
bahasa yang dipergunakan oleh guru melalui rekonstruksi bangunan (bahasa) yang
dibuat oleh guru.
Membaca dimaksudkan untuk melafalkan
bunyi yang tertulis kemudian menangkap gagasan yang terkandung dalam rangkaian
bunyi. Tulisan sebagai produk berbahasa dimaksudkan untuk menyampaikan pesan
kepada pembaca secara tidak langsung. Pembaca berusaha mewujudkan kembali
proses penulisan melalui alat-alat interpretasi dengan maksud untuk menangkap
pesan yang terkandung dalam tulisan.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
1) Wacana adalah satuan bahasa lisan
maupun tulisan yang memiliki keterkaitan atau keruntutan antarbagian atau
kohesi, koheren atau keterpaduan dan bermakna, digunakan untuk melakukan
komunikasi dalam konteks sosial.
2) Analisis
wacana pada dasarnya ingin menganalisis dan menginterpretasi pesan yang
dimaksud pembicara atau penulis dengan cara merekonstruksi teks sebagai produk
ujaran/tulisan kepada proses ujaran/tulisan sehingga diketahui segala konteks
yang mendukung wacana pada saat diujarkan/dituliskan.
3) Di
dalam analisis wacana, bila kita menghadapi percakapan dua orang atau lebih
yang harus diperhatikan adalah saat terjadinya perubahan dari topik pembicaraan
ditandai dengan paragraf sedang dalam percakapan dinamakan paraton (perubahan
pola informasi).
4) Pertalian mata rantai
(proposisi) satu dengan yang lain dalam suatu wacana ada beberapa jenis, yaitu
a) dengan kata penghubung dan b) tanpa menggunakan kata penghubung. Hasil
pertaliannya juga bisa terjadi dalam beberapa bentuk: 1. kohesif sekaligus
koheren, 2. kohesif tidak koheren, 3. tidak kohesif, tetapi koheren.
5) Analisis
wacana menawarkan sesuatu yang baru. Bahasa dianalisis bukan setelah terlepas
dari pemilik, pemakai dan konteksnya, tetapi pada saat peristiwa itu
berlangsung.
3.2
Saran
1) Bagi
STKIP PGRI Pasuruan, makalah ini dapat dijadikan sebagai tambahan literatur di
perpustakaan kampus.
2) Bagi
dosen STKIP PGRI Pasuruan, makalah ini dapat dijadikan sebagai tambahan
informasi sebagai bahan pembelajaran untuk mahasiswa.
3) Bagi
mahasiswa STKIP PGRI Pasuruan, makalah ini dapat dijadikan sebagai tambahan
ilmu pengetahuan dan sebagai pedoman untuk analisis wacana dalam pembelajaran
bahasa.
DAFTAR
PUSTAKA
Pranowo. 2015. Teori
Belajar Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Charmilah.blogspot.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar