Jumat, 17 November 2017

ANALISIS WACANA DALAM PEMBELAJARAN BAHASA

Dosen Pengampu:
M. Bayu Firmansyah, M.Pd








Disusun oleh:
Devya Erfitri Rahmadhani (16188201034)





STKIP PGRI PASURUAN
Jl. Ki Hajar Dewantara No.27-29 Pasuruan
Tahun Akademik 2017/2018







KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur saya ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat rahmat dan anugerah-Nya saya dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Metode Pembelajaran Bahasa Indonesia.
            Makalah yang berjudul “Analisis Wacana Dalam Pembelajaran
Bahasa” ini saya buat dalam rangka menyelesaikan tugas yang diberikan oleh Bapak M. Bayu Firmansyah, M.Pd. selaku dosen mata kuliah Metode Pembelajaran Bahasa Indonesia.
Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada dosen mata kuliah ini selaku pembimbing saya, teman-teman yang telah memberi saya inspirasi, dan semua orang yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.
            Saya sadar makalah ini jauh dari sempurna, oleh karena itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca supaya kedepannya makalah ini dapat lebih baik lagi.
            Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk saya khususnya dan bagi para pembaca umumnya.




Pasuruan, 12 November 2017


Penulis






DAFTAR ISI


Halaman
KATA PENGANTAR ......................................................................................... i
DAFTAR ISI ........................................................................................................     ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1
1.2  Rumusan Masalah ............................................................................... 2
1.3  Tujuan ................................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN
2.1  Pengertian Wacana……………………………………………….....3
2.2  Analisis Pemakaian Bahasa………………..……………………......3
2.3  Topik dan Representasi Wacana…………………………..…..……4
2.4  Kohesi dan Koherensi Dalam Wacana …………………………….6
2.5     Implikasi Analisis Wacana Dalam
Pembelajaran Bahasa Indonesia …………………………………...8
BAB III PENUTUP
3.1  Kesimpulan .......................................................................................12
3.2  Saran .................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................14







BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah
            Istilah wacana berasal dari bahasa Sansekerta wac/wak/vak, artinya berkata berucap (Douglas, 1976:262). Bila dilihat dari jenisnya, kata wac dalam lingkup morfologi bahasa Sansekerta, termasuk kata kerja III parasmaepada (m) yang bersifat aktif, yaitu melakukan tindakan ujar. Kata tersebut kemudian mengalami perubahan menjadi wacana. Jadi, wacana dapat diartikan sebagai perkataan atau tuturan.
            Seperti halnya banyak kata yang digunakan, kadang-kadang pemakai bahasa tidak mengetahui secara jelas apa pengertian dari kata yang digunakan tersebut. Ada yang mengartikan wacana sebagai unit bahasa yang lebih besar dari kalimat. Ada juga yang mengartikakn sebagai pembicaraan. Kata wacana juga banyak dipakai oleh berbagai kalangan mulai dari studi bahasa, psikologi, sosiologi, politik, komunikasi, sastra dan sebagainya. Pembahasan wacana berkaitan erat dengan keterampilan berbahasa yaitu berbicara dan menulis. Baik wacana maupun keterampilan bahasa, sama-sama menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi.
            Menurut Henry Guntur Tarigan (1987:27), wacana adalah satuan bahasa yang paling lengkap, lebih tinggi dari klausa dan kalimat, memiliki kohesi dan koherensi yang baik, mempunyai awal dan akhir yang jelas, berkesinambungan, dan dapat disampaikan secara lisan dan tertulis. Jadi, suatu kalimat atau rangkaian kalimat, dapat disebut wacana atau bukan wacana bergantung pada keutuhan unsur-unsur makna dan konteks yang melingkupi.
            Berdasarkan uraian di atas, betapa pentingnya mengetahui dan memahami mengenai wacana agar tidak terjadi kesalahpahaman, oleh karena itu penulis menyusun makalah yang berjudul “Analisis Wacana Dalam Pembelajaran Bahasa”.
           
           
1.2  Rumusan Masalah
1)      Apa pengertian wacana?
2)      Bagaimanakah analisis pemakaian bahasa?
3)      Apa topik dan representasi wacana?
4)      Bagaimana kohesi dan koherensi dalam wacana?
5)      Bagaimana implikasi analisis wacana dalam pembelajaran bahasa Indonesia?

1.3  Tujuan
1)      Mendeskripsikan pengertian wacana.
2)      Mendeskripsikan analisis pemakaian bahasa.
3)      Mendeskripsikan topik dan representasi wacana.
4)      Mendeskripsikan kohesi dan koherensi dalam wacana.
5)      Mendeskripsikan implikasi analisis wacana dalam pembelajaran bahasa Indonesia.




BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Wacana
Wacana adalah rentetan kalimat yang berhubungan, menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain, membentuk satu kesatuan, proposisi sebagai isi konsep ang masih kasar yang akan melahirkan statement atau pernyataan dalam bentuk wacana atau kalimat (Fatimah Djajasudarma, 1994).
Wacana adalah satuan bahasa yang paling lengkap, lebih tinggi dari klausa dan kalimat, mempunyai kohesi dan koherensi yang baik, mempunyai awal serta akhir yang jelas, berkesimnambungan dan bisa disampaikan secara lisan dan tulisan (Henry Guntur Tarigan, 1987).
Wacana adalah satuan bahasa terlengkap yang dinyatakan secara lisan seperti ceramah, pidato, dialog dan khotbah atau secara tertulis seperti novel, cerpen, surat, buku dan dokumen tertulis yang dilihat dari struktur lahirnya atau dari segi bentuk bersifat kohesif, saling terkait dan dari struktur batinnya (dari segi makna) bersifat koheren terpadu (Sumarlan dkk, 2009).
Wacana adalah rentetan kalimat yang berhubungan sehingga terbentuklah makna yang serasi diantara kalimat-kalimat tersebut. Dengan begitu sebuah rentetan kalimat tidak dapat disebut dengan wacana jika tidak ada keserasian makna, dan sebaliknya, jika rentetan kalimat membentuk sebuah wacana karena dari rentetan tersewbut akan terbentuk makna yang serasi (Hasan Alwi dkk, 2000).
Dari beberapa pengertian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa wacana adalah satuan bahasa lisan maupun tulisan yang memiliki keterkaitan atau keruntutan antarbagian atau kohesi, koheren atau keterpaduan dan bermakna, digunakan untuk melakukan komunikasi dalam konteks sosial.
2.2  Analisis Pemakaian Bahasa
            Suatu kemajuan besar bahwa sejak 1984, Kurikulum Bahasa Indonesia telah memasukkan pragmatik sehingga setiap unit pelajaran bahasa Indonesia meliputi membaca, kosakata, struktur, menulis, pragmatik, dan apresiasi sastra/bahasa. Bahkan, mulai tahun 1994 Kurikulum Bahasa Indonesia telah secara eksplisit menyebutkan pendekatan komunikatif sebagai rancangan penyusunannya yang notabene pengajaran bahasa Indonesia telah difokuskan pada fungsi komunikatif bahasa sebagai jiwa dari pragmatik. Sampai dengan KTSP 2006 pun unsur kekomunikatifan sebagai pendekatan tidak berubah. Berarti jiwa pragmatik masih tetap ada dalam KTSP 2006.
            Pragmatik pada hakikatnya adalah studi bahasa dari sudut pemakaiannya atau bahasa dalam pemakaiannya (language in use) (Levinson, 1983). Analisis wacana sebagai studi bahasa yang didasarkan pada pendekatan pragmatik berarti mengkaji wacana bahasa dalam pemakainnya berdasarkan konteks situasinya. Wacana yaitu suatu konstruksi yang terdiri atas kalimat yang satu diikuti oleh kalimat lain, yang merupakan suatu keutuhan konstruksi dan makna (Samsuri, 1986). Dengan demikian, sebenarnya wacana dapat berupa wacana lisan maupun tulis. Wacana tulis biasa disebut teks, namun karena wacana lisan bila akan dianalisis juga harus ditranskip dalam bentuk tulisan, keduanya juga disebut teks.
            Analisis wacana pada dasarnya ingin menganalisis dan menginterpretasi pesan yang dimaksud pembicara atau penulis dengan cara merekonstruksi teks sebagai produk ujaran/tulisan kepada proses ujaran/tulisan sehingga diketahui segala konteks yang mendukung wacana pada saat diujarkan/dituliskan.
            Segala alat pembangun wacana yang pada saat wacana itu dalam proses dihasilkan melingkupi pembicara atau penulis akan dihadirkan kembali (direkonstruksi) dan dijadikan alat untuk menginterpretasi. Hasil interpretasi diharap dapat membantu pembaca/penyimak untuk memahami pesan yang dimaksud oleh pembicara/penulis.
2.3 Topik dan Representasi Wacana
            Topik dalam suatu wacana tidak sama dengan topik dalam suatu kalimat. Kalimat : Orang itu bagus sekali rumahnya. Frasa orang itu adalah topik (subjek) sedang bagus seklai rumahnya adalah coment/keterangan yang terdiri dari bagus sekali sebagai predikat dan rumahnya, sebagai subjek. Dalam analisis wacana kalimat di atas tidak akan disikapi demikian, karena topik yang dimaksud adalah topiknya pembicara. Dengan demikian, topik kalimat di atas adalah bagus sekali. Frasa bagus sekali menjadi substansi dari rumahnya (ada rumah yang jelek, rumah cukup bagus, dan rumah bagus sekali).
            Percakapan orang tentang sesuatu bisa saja tentang topik yang sama, misalnya:
A : Sudah lama tidak hujan, sekarang sudah mulai hujan.
B : Iya, rupanya sudah mulai musim hujan lagi ya?
A : Mungkin! Baru hujan sekali saja udaranya kelihatan bersih dan terasa segar.
Percakapan antara A dan B tentang topik yang sama, yaitu hujan. B sebagai lawan  bicara memberi tanggapan yang sepadan dengan maksud yang dibicarakan oleh si A. Apabila topik pembicaraan pada masalah yang sama, pembicaraan ini disebut topicality (Brown, 1985: 84). Ada juga percakapan dua orang tetap dapat berlangsung terus, tetapi mereka berbicara pada topiknya sendiri-sendiri pada topiknya masing-masing, misalnya:
A : Saya kemarin pergi ke Surabaya menengok keponakan saya yang menjadi angkatan laut.
B : Kalau anak saya yang di Surabaya sering berlayar sampai Singapura membawa barang-barang untuk diekspor dan kalu pulangs sering membaea barang-barang elektronika.
A : La iya namanya angkatan laut, istrinya juga sering mengeluh karena segala urusan anak-anaknya yang harus diurus sendiri.
B : Murah-murah lho barang-barang elektronika dari sana itu, lebih-lebih kalau mendapat barang selundupan.
A : Padahal, waduh…minta ampun anak-anaknya bukan main nakalnya.
Memang kadang-kadang topik yang dibicarakan masih berhubungan, tetapi pembicara sering mengangkat permasalahan pembiacaraan sendiri-sendiri. Hal semacam ini disebut on a topic. Di dalam analisis wacana, bila kita menghadapi percakapan dua orang atau lebih yang harus diperhatikan adalah saat terjadinya perubahan dari topik pembicaraan ditandai dengan paragraf sedang dalam percakapan dinamakan paraton (perubahan pola informasi). Dalam bahasa lisan yang terpenting adalah memperhatikan pemarkah-pemarkah paraon tersebut. Biasanya berupa kata-kata, intonasi yang melemah dan sebagainya. Misalnya….O, iya, omong-omong suamimu itu…; anu….saya kok lupa….
2.4 Kohesi dan Koherensi Dalam Wacana
            Salah satu ciri kewacanaan adalah kekohesifan. Di samping sebagai ciri kewacanaan kohesi dapat juga dipakai sebagai alat interpretasi wacana dari segi struktur kalimat. Apabila suatu kalimat memiliki keruntutan hubungan struktur antarkalimat, kalimat tersebut disebut kohesif. Jadi kohesif adalah keruntutan hubungan antarkalimat, misalnya:
A : Wah, ada tamu, tolong bukakan pintu.
B : Saya sibuk, maaf ya!
A : Ya sudah saya bukanya sendiri.
            Ujaran A dan B terjalin melalui hubungan struktur. Hal ini terlihat jelas melalui frasa “tolong bukakan pintu” dengan frasa “maaf ya” yang maksudnya “maaf ya saya tidak dapat membuka pintu”. Lebih jelas lagi setelah A memberikan tanggapan berikutnya, yaitu “Saya bukanya sendiri”. Pertalian antara ujaran pertama dengan ujaran kedua terjadi secara kohesif artinya ada pemarkah hubungan berupa kata tolong dan maaf. Sedang pemarkkah hubungan pada kalimat ketiga (ujaran A) berupa frasa “Saya bukanya sendiri”.
            Hubungan kekohesifan suatu ujaran yang masih berada dalam suatu teks dinamakan endofora. Hal ini bisa ditandai dengan pemarkah berupa kata sambung dan, tetapi, sehingga, kemudian, dan seterusnya.
            Pertalian mata rantai (proposisi) satu dengan yang lain dalam suatu wacana ada beberapa jenis, yaitu a) dengan kata penghubung dan b) tanpa menggunakan kata penghubung. Hasil pertaliannya juga bisa terjadi dalam beberapa bentuk: 1) kohesif sekaligus koheren, 2) kohesif tidak koheren, 3) tidak kohesif, tetapi koheren.
            Jenis pertalian pertama dan kedua dapat diambil contoh sebagai berikut:
a.       Ia duduk termenung karena (ia) sedih.
b.      Saya terpaksa berangkat ke Malang juga, meskipun anak dan istri di rumah kurang sehat.
c.       Ia menengadah ke langit maka pesawat terbang itu jatuh.
d.      Pak Gunadi mengetik soal maka saya jatuh sakit.
Pertama mata rantai “ia sedih” dihubungkan dengan “ia duduk termenung” memakai kata sambung karena, “ia sedih” merupakan sebab terjadinya suatu peristiwa “ia duduk termenung”. Kedua “ia terpaksa berangkat ke Malang juga” berhubungan dengan mata rantai “anak dan istri di rumah kurang sehat” menjadi sebab terjadinya suatu peristiwa, dan peristiwa itu terjadi di dalam keterbatasan yaitu terpaksa. Kalimat tersebut di samping memiliki pertalian bentuk (kohesi) sekaligus memiliki pertalian isi (koherensi).
Contoh ketiga, “ia menengadah ke langit!” sebagai mata rantai pertama merupakan sebab terjadinya peristiwa “pesawat terbang jatuh” karena adanya kata sambung maka. Begitu juga kalimat ke empat mata rantai “Pak Gunadi mengetik soal” merupakan sebab terjadinya peristiwa pada mata rantai kedua yaitu “saya jatuh sakit” karena adanya kata sambung maka juga. Namun, dari segi isi hubungan mata rantai tidak logis sehingga meskipun pertaliannya sangat kohesif tetapi tidak memiliki koherensi.
Jenis pertalian ketiga yaitu pertalian tanpa menggunakan kata sambung. Hasil pertalian ini tidak kohesif, tetapi sangat koheren atau tidak kohesif dan tidak koheren.
a.       Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa (Amir Hamzah, 1978: 5)
b.      Harga menjes (tempe bongkrek) turun secara drastis. Harga minyak di pasaran jatuh sejak terjadinya resesi ekonomi dunia.
Baris-baris puisi dalam contoh ke lima tidak kohesif karena tidak terdapat kata sambung. Jika diteliti dari pemakaian kata-katanya, yaitu kata satu dalam baris “satu kekasihku” yang dikaitkan dengan baris “aku manusia” menunjuk bahwa aku sebagai pembicara yang biasanya memiliki kerinduan terhadap rasa dan rupa. Pertalian baris tersebut dapat ditunjukkan dengan cara memparafrasakan menjadi “(tinggal) satu kekasihku (bahwa) aku (sebagai) manusia (biasa) (juga) ridu rasa (dan) rindu rupa”. Jadi, baris puisi tersebut satu sama lain meskipun tidak kohesif ternyata memiliki pertalian isi yang sangat koheren. Petunjuk lain dapat dilihat antara baris ketiga dan keempat dengan dipergunakannya repetisi kata rindu. Namun, bagaimana menjelaskan pemakaian kata rupa bahwa kekasihku (Tuhan) sampai bisa merupa?
Amir Hamzah rupanya terpengaruh oleh kaum Nasrani yang memiliki konsepsi tentang diri Tuhan yang bisa merupa dalam diri Nabi Isa (Yassin, 1962: 33). Dengan kata lain pemahaman melalui latar belakang sosio kulturalnya akan dapat menjelaskan pertalian tersebut.
Contoh keenam, kalimat “Harga menjes turun secara drastis” dan kalimat “Harga minyak di pasaran jatuh sejak terjadinya resesi ekonomi dunia” meskipun berbicara dalam topik yang sama (on the topic) yaitu masalah harga, tetapi tidak ada hubungan sama sekali karena pembicara satu berbicara harga sesuatu (harga menjes) sedang pembicara lain berbicara harga sesuatu yang lain (harga minyak), meskipun mungkin dalam konteks yang sama yaitu “resesi ekonomi, dunia”. Jadi, contoh keenam tidak ada kohesi dan koherensinya.
Jika dikembalikan pada unsur pembangun kekoherensian dan pemahaman isi dari pesan yang disampaikan melalui kata-kata dan struktur kalimat, hal di atas dapat dikategorikan struktur sintaktik dan unsur leksikal yang digunakan dalam menyampaikan pesan melalui bahasa untuk bisa sampai pada interpretasi. Cara lain untuk memahami isi informasi dan melihat tingkat kekoherensian suatu wacana, yaitu 1) prinsip analogi (the principles of analogy), 2) interpretasi lokal (local interpretation), 3) ciri umum konteks (general features of context), 4) keteraturan kerangka struktur wacana (regularities of discourse structure out-lined) dan 5) ciri-ciri tetap suatu organisasi struktur informasi (regular features of information structure organisation).
2.5  Implikasi Analisis Wacana Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia
            Analisis wacana merupakan analisis pemakaian bahasa. Bahasa dianalisis bukan sebagai produk tetapi sebagai proses, yaitu proses komunikasi. Di dalam berkomunikasi setidaknya ada dua orang yang terlibat. Meminjam istilah Hymes (1964) disebut partisipan.
            Partisipan pertama mengungkapkan pikiran dengan menggunakan bahasa, tetapi bahasa yang sudah dibangun dalam bentuk wacana memakai alat-alat pembangun wacana berupa: 1) pertalian bentuk (kohesi), 2) pertalian isi (koherensi), 3) konteks, (meliputi: a) referensi, b) praanggapan, c) implikatur, d) inferensi, e) kontkes situasi, f) ko-teks dan g) interpretasi lokal), 4) topik, dan sebagainya. Pertisipan kedua akan menangkap ide yang disampaikan partisipan pertama mempergunakan alat interpretasi, yang diambil dari alat pembangun wacana.
            Pertemuan partisipan pertama dan kedua pada waktu menghadapi produk berupa bahasa dapat diamati melalui membaca atau mendengarkan. Dengan demikian, kewajiaban partisipan ke dua adalah merekonstruksi ujaran/tulisan partisipan pertama sehingga pemahamannya terhadap wacana tidak keliru dengan yang dimaksud oleh partisipan pertama.
            Apabila analisis wacana dikaitkan dengan usaha seseorang dalam menguasai bahasa tertentu, sesungguhnya adalah menguasai bahasa untuk berkomunikasi. Tindak komunikasi (communication acts) adalah tindak mengirim dan menangkap pesan oleh para partisipan melalui bahasa. Mengirim dan menangkap pesan dalam berkomunikasi menjadi sasaran utama, sedangkan bahasa sebagai alatnya. Dengan demikian bila seseorang ingin menguasai bahasa tertentu untuk berkomunikasi, dia harus memulai dengan menggunakan  bahasa. Tata bahasa dikuasai dengan maksud agar bahasa yang dipergunakan dapat jelas dan sesuai dengan maksud yang ingin diungkapkan.
            Analisis wacana menawarkan sesuatu yang baru. Bahasa dianalisis bukan setelah terlepas dari pemilik, pemakai dan konteksnya, tetapi pada saat peristiwa itu berlangsung. Dengan demikian, analisisnya ditekankan pada analisis proses berbahasa. Namun, karena hal ini dilakukan terpaksa dipergunakan rekaman video, tape atau transkip tertulis, sehingga kegiatan analisisnya dilakukan dengan cara merekonstruksi wacana yang telah berupa produk dengan menggunakan alat-alat interpretasi suasana pemakaian bahasa yang dimunculkan oleh pemakai bahasa bisa digambarkan kembali. Dengan demikian, analisis wacana yang dihampiri dari sudut pragmatik menjadi penting dalam pengajaran bahasa.
            Kegiatan pengajaran bahasa setidaknya ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu a) proses pengajara, dan b) tujuan yang akan dicapai. Proses pengajaran pada hakikatnya adalah proses komunikasi antarpartisipan, yaitu antara guru dan murid. Guru menyampaikan pesan berupa materi pelajaran kepada murid dalam bentuk wacana. Bahasa yang dipakai guru bukanlah bahasa yang bebas tetapi bahasa yang dibangun dengan mempergunakan alat pembangun wacana agar mudah dimengerti murid.
            Murid sebagai partisipan yang akan menangkap pesan yang disampaikan oleh guru dengan cara menginterpretasi ujaran guru. Mereka mencoba memahami maksud guru dengan cara merekonstruksi ujaran dalam pikirannya. Murid hanya akan mampu menangkap maksud yang terdapat dalam ujaran secara tepat apabila mampu menghadirkan kembali alat-alat pembangun wacana yang dipakai oleh guru menjadi alat interpretasi.
            Segi lain dalam pengajaran bahasa yang terpenting adalah tujuan yang akan dicapai. Guru merumuskan tujuan pengajaran untuk murid, dengan demikian pada bagian ini tindakan guru mengatasnamakn murid. Murid sebagai orang yang belajar seharusnya mereka mengerti apa yang harus dicapai agar segala kegiatan yang dilakukan senantiasa mengarah pada tujuan serta tidak ada perasaan terpaksa dalam berbuat. Tujuan pengajaran bahasa Indonesia di sekolah adalah agar pembelajar terampil berbahasa baik secara lisan atau tertulis. Berdasrkan rumusan tujuan tersebut dapat ditarik kesimpulan agar murid dapat berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia secara langsung atau tidak langsung.
            Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, analisis wacana memiliki peranan yang sangat besar. Karena kegiatan ini dilakukan di kelas, indikator yang dapat ditunjuk adalah: 1) kurikulum berorientasi pada tujuan, 2) murid berkomunikasi dengan guru, murid akan mencapai tujuan, maka analisis wacana berperanan sangat besar dalam pengajaran keterampilan menyimak dan membaca.
            Menyimak dimaksudkan agar murid dapat mendengar dan mengerti bunyi bahasa yang diucapkan oleh guru, kemudian menangkap pesan. Kegiatan menganalisis wacana pada hakikatnya menganalisis ujaran melalui proses berpikir. Ujaran mengandung pesan untuk disampaikan kepada murid, murid menangkap bunyi melalui telinga kemudian mengolahnya dalam pikiran, untuk memperoleh pesan. Hal ini dilakukan dengan jalan mengenali jenis bahasa yang dipergunakan oleh guru melalui rekonstruksi bangunan (bahasa) yang dibuat oleh guru.
            Membaca dimaksudkan untuk melafalkan bunyi yang tertulis kemudian menangkap gagasan yang terkandung dalam rangkaian bunyi. Tulisan sebagai produk berbahasa dimaksudkan untuk menyampaikan pesan kepada pembaca secara tidak langsung. Pembaca berusaha mewujudkan kembali proses penulisan melalui alat-alat interpretasi dengan maksud untuk menangkap pesan yang terkandung dalam tulisan.




BAB III
PENUTUP
3.1    Kesimpulan
1)      Wacana adalah satuan bahasa lisan maupun tulisan yang memiliki keterkaitan atau keruntutan antarbagian atau kohesi, koheren atau keterpaduan dan bermakna, digunakan untuk melakukan komunikasi dalam konteks sosial.
2)      Analisis wacana pada dasarnya ingin menganalisis dan menginterpretasi pesan yang dimaksud pembicara atau penulis dengan cara merekonstruksi teks sebagai produk ujaran/tulisan kepada proses ujaran/tulisan sehingga diketahui segala konteks yang mendukung wacana pada saat diujarkan/dituliskan.
3)      Di dalam analisis wacana, bila kita menghadapi percakapan dua orang atau lebih yang harus diperhatikan adalah saat terjadinya perubahan dari topik pembicaraan ditandai dengan paragraf sedang dalam percakapan dinamakan paraton (perubahan pola informasi).
4)      Pertalian mata rantai (proposisi) satu dengan yang lain dalam suatu wacana ada beberapa jenis, yaitu a) dengan kata penghubung dan b) tanpa menggunakan kata penghubung. Hasil pertaliannya juga bisa terjadi dalam beberapa bentuk: 1. kohesif sekaligus koheren, 2. kohesif tidak koheren, 3. tidak kohesif, tetapi koheren.
5)      Analisis wacana menawarkan sesuatu yang baru. Bahasa dianalisis bukan setelah terlepas dari pemilik, pemakai dan konteksnya, tetapi pada saat peristiwa itu berlangsung.
3.2    Saran
1)      Bagi STKIP PGRI Pasuruan, makalah ini dapat dijadikan sebagai tambahan literatur di perpustakaan kampus.
2)      Bagi dosen STKIP PGRI Pasuruan, makalah ini dapat dijadikan sebagai tambahan informasi sebagai bahan pembelajaran untuk mahasiswa.
3)      Bagi mahasiswa STKIP PGRI Pasuruan, makalah ini dapat dijadikan sebagai tambahan ilmu pengetahuan dan sebagai pedoman untuk analisis wacana dalam pembelajaran bahasa.



DAFTAR PUSTAKA

Pranowo. 2015. Teori Belajar Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Charmilah.blogspot.co.id





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

NIKMATI PROSES, RAYAKAN PERJALANAN

Terlahir sebagai Gen Z dan sedang memasuki era quarter life crisis merupakan sebuah tantangan dalam hidup. Beberapa ciri anak Gen Z adalah ...